karya Ibnu HS
Tulisan Asli
Tepat di samping Masjid Al-Mu’min di kampungku, ada sebatang pohon Jambu Air yang tumbuh di sana melebihi usiaku dan teman-temanku. Mungkin juga melewati usia ibuku. Kalau Ayah, entahlah. Aku memang tidak pernah menanyakan.
Pohon itu berbuah seperti tak kenal musim. Bahkan jika pohon-pohon lain sudah tidak berbuah karena telah habis musimnya, buahnya tetap saja bisa kami nikmati meski tak bisa disebut rimbun. Tidak jarang setelah mengaji setiap ba’da Ashar kami berlama-lama di situ. Apalagi aku. Aku biasa berjam-jam duduk melamun di atasnya, kemudian menuliskan inspirasi yang kudapat menjadi sebuah cerita. Tanpa terasa matahari semakin rebah dan biasanya aku baru melompat turun dan terbirit-birit jika mendengar Ibu meneriaki aku untuk segera pulang ke rumah.
Tentang buahnya yang tak pernah putus itu kata Bang Ahmad guru mengaji kami, boleh jadi itu pertanda keikhlasan dari pemiliknya. Kai’ (1) Liham yang merawat pohon itu adalah orang yang selalu membagikan buah pohon Jambu Air itu kepada siapa saja yang menginginkannya secara cuma-cuma. Padahal jika ia mau menjual ke pasar tentu ada tambahan penghasilan untuknya selain dari menangkap ikan di sungai.
“Tidak usahlah. Pohon itu juga tumbuh sendiri dari sisa buah yang mungkin tidak sengaja dilemparkan,” jawabnya suatu ketika waktu ada seorang lelaki muda memberinya uang untuk beberapa buah jambu yang ranum. Istri lelaki itu rupanya sedamg mengidam jambu air, padahal musimnya sudah lewat.
Lelaki itu terus memaksa. Beberapa lembar 5 ribuan, jumlah yang besar untuk saat itu, diselipkannya juga ke kantong baju koko Kai’ Liham. Tapi yang diberi juga bersikeras menolak.
“Kalau ingin membayar, bayarlah pada pemiliknya!” serunya tegas sambil menyelipkan lembaran uang kembali ke genggaman tangan tamunya. Meski demikian mata dan bibirnya tersenyum lebar. Menampakkan sebaris geligi yang tak utuh lagi.
Lelaki itu kelihatan penasan. Telapak tangannya mengendur dalam genggaman Kai’ Liham.
“Kai’tahu?”
“Allah. Allah yang memiliki pohon itu. Bukan aku!”
Lelaki muda itu tertegun.
“Allah?”
“Bayarlah dengan kebaikan, Nang(2). Bahkan kebaikan itu pun kelak akan kembali lagi kepadamu!”
Tanpa diduga tiba-tiba saja lelaki itu membungkuk dan menciumi tangan Kai’ Liham. Begitu cepat kejadiannya. Ketika kepalanya terangkat matanya terlihat berkaca-kaca.
“Terima kasih, Kai’!” serunya berulang kali sebelum kemudian pergi disaksikan sepasang mata tua yang bercahaya.
"Begitulah. Cahaya iman dan dan ketulusan yang memancar dari mata Kai’ Liham telah menjadi sebab datangnya hidayah lelaki itu!” demikian cerita Bang Ahmad suatu ketika usai mengajari kami mengaji.
Sejak saat itu ingin sekali aku bertemu secara langsung dengan Kai’ Liham. Lelaki bersahaja yang juga rajin membersihkan halaman masjid dari daun-daun jambu yang berguguran. Tapi memang itu hanya sebatas keinginan. Beliau sudah meninggal sebelas tahun yang lalu. Seingat Ibu, waktu itu aku baru sekitar 3 tahunan. Terserang Malaria yang memang menjadi penyakit berbahaya di daerahku sampai hari ini.
Yang dapat kutemui saat ini adalah istrinya. Menempati rumah kecil beratap daun nipah di atas sebidang tanah di sebelah selatan masjid kami. Kami memanggil perempuan tua itu dengan sebutan Nenek Anis. Berasal dari kata Manis. Dipanggil demikian karena wajah yang keriput dan uban di sekujur kepalanya itu sama sekali tidak dapat menutupi sisa kecantikan di masa lalu.
Ia masih meneruskan kebiasaan suaminya membagikan buah jambu air itu secara cuma-cuma kepada siapa pun yang menginginkannya. Selain itu aku mengenalnya sebagai seorang perempuan tua yang rajin bekerja. Bayangkan, pagi-pagi ia sudah sibuk merawat sayuran di pekarangan. Memilih yang sudah pantas untuk dipanen dan menjualnya dengan pedagang yang lewat di depan rumahnya karena sudah beberapa tahun ini ia sudah tak mampu lagi ke pasar dan menjual secara langsung hasil kebunnya.
Setelah itu, seperti Alhmarhum suaminya, Nek Anis membersihkan daun-daun jambu yang berguguran di halaman masjid. Bukan sesuatu yang mudah untuk orang setua dirinya. Saat itulah seringkali aku, juga orang-orang lain di kampungku melihat ia seperti berbicara dengan daun-daun itu. Hanya saja kalau ada orang-orang yang mendekatinya, ia segera saja bungkam seolah tidak ada apa-apa antara ia dengan daun-daun jambu itu. Kata Ibu, mungkin ia kesepian sehingga bercakap-cakap dengan daun.
“Nek Anis itu memang pendatang di kampung kita. Dia ke sini ikut suaminya. Setelah suaminya meninggal ia tidak punya siapa-siapa lagi di tempat ini. Mungkin itulah sebabnya ia sering merasa kesepian,” tutur Ibu suatu hari sambil menyiapkan dua buah rantang berisi sayur dan lauk pauk untuk Nenek Anis.
Ibu memang sering menyuruhku mengantar rantang berisi sayur dan lauk pauk untuk perempuan baik hati itu meski berulangkali Nek Anis berpesan melalui aku agar Ibu tidak usah lagi mengiriminya makanan. Merepotkan saja, kataya. Tapi Ibu tetap saja menyuruhku mengantarkan sayur dan lauk pauk untuknya. Kata Ibu, kita semua bersaudara. Sepiring nasi untuk membantu orang lain tidak akan membuat kita menjadi miskin. Tapi jika tetangga kita kelaparan dan kita tidak peduli sekalipun kita rajin beribadah, kelak Baginda Nabi tidak akan mau mengakui kita sebagai umatnya.
Akhirnya Nek Anis mau menerima kiriman Ibu. Setiap hari sepulang sekolah aku mengirimkan rantang itu ke rumahnya. Biasanya aku tidak langsung pulang tapi menemaninya mengobrol di depan pintu rumahnya. Dia asyik mengunyah sirih, aku memamah jambu dan baru berpamitan pulang menjelang Ashar.
Bertahun-tahun lamanya pohon dan buah jambu air itu sekaligus menjadi jembatan pertemanan kami. Waktu yang lama untukku mengenali ada sesuatu perubahan yang terjadi dengan dirinya. Seminggu ini kulihat ia jarang berbicara. Kadang-kadang melamun dan seringkali terkejut kalau aku menanyakan sesuatu. Mulanya ia menyangkal. Lama-lama mau juga ia bercerita.
“Pohon jambu itu, Nang …!”
Aku melihat matanya berkaca-kaca ketika menatap kea rah pohon jambu tua.
“Kenapa, Nek?”
“Mereka akan menebangnya.”
Aku jelas menangkapnya sebagai sebuah kejutan meskipun kata-kata tadi diucapkan dengan suara yang lirih bergetar. Kedua bahunya yang sudah bungkuk semakin merunduk.
Dari mulutnya kemudian aku mendengar cerita. Lebih kurang seminggu yang lalu Pak H. Zarkasi dan beberapa pengurus masjid mengunjungi dirinya. Mereka mengatakan kalau H. Jali, orang paling kaya di kampung kami memiliki nazar merehab Masjid Al-Mu’min jika anak semata wayangnya bisa lepas dari ketergantungan obat-obatan terlarang. Ternyata harapannya dikabulkan Allah. Anaknya yang sekarang mondok di salah satu pesantren di Jawa Tengah, Alhamdulillah, kabarnya telah sembuh.
“Tidak cuma merebab, masjid kita ini katanya akan dibangun lebih megah lagi, lengkap dengan taman dan kolam ikan hias!”
Nenek Anis ikut senang mendengarnya. Tapi …
“Kami meminta kesediaan Pian(3) untuk menebang pohon jambu ini!” pungkas H. Zarkasi yang ditunjuk sebagai juru bicara. Katanya lagi, akar jambu air itu dikhawatirkan merusak keindahan taman yang akan dibangun.
Aku mengerti sekarang. Rupanya rencana menebang pohon jambu kami dalam rangka renovasi masjid tersebut membuat perempuan sebatang kara ini merasa sedih. Sejauh ini aku bisa merasa bersimpati dengannya. Sebatang pohon jambu itu mungkin mengingatkannya pada seseorang yang sangat dekat dengannya, Kai’ Liham yang baik hati. Akan tetapi aku tidak menyangka ia menyimpan sebuah alasan lain kenapa ia begitu sedih dengan rencana menebang pohon jambu itu.
“Kebaikan apalagi yang bisa aku lakukan kalau pohon itu sudah tidak ada lagi?”
Padaku Nenek Anis mengakui. Ia sering iri pada orang-orang yang bisa berbuat baik dengan hartanya. Atau dengan tenaganya, Atau dengan pengetahuannya.
“Sementara aku untuk membaca ayat suci saja terbata-bata. Tidak seperti kau yang lancar membacanya. Satu-satunya kebaikan yang bisa kupertahankan selama ini adalah pohon jambu itu. Buahnya bisa kuberikan kepada siapa saja yang menginginkan. Sementara dengan membersihkan daun-daunnya yang gugur di halaman masjid aku berharap itu pun menjadi sebuah kebaikan bagiku,” paparnya murung.
Sampai malam aku masih teringat ucapan Nenek Anis. Perempuan malang. Aku bisa membayangkan perasaannya jika renovasi itu jadi dilakukan dan pohon jambu itu ditebang. Perasaan sepi dan tidak berguna akan menghantui hari-hari tuanya.
“Jika selesai dipugar, mereka tentu tidak akan menyuruh orang tua yang sudah lapuk ini untuk mengurus kebersihan taman dan masjid. Ah, sia-sianya hidupku!” keluhnya sebelum aku pulang tadi. Dan aku cuma bisa memintanya untuk bersabar.
Malam yang terasa begitu panjang. Setelah Shalat Subuh aku mengayuh sepedaku ke rumah Bang Ahmad. Malu juga sebenarnya karena sejak khatam mengaji dulu aku tidak pernah lagi berkunjung ke rumahnya. Paling-paling aku bertemu di masjid sesaat usai shalat. Tapi saat ini kupikir dia adalah orang yang tepat kuajak berbincang tentang kondisi Nek Anis.
Beberapa saat lamanya ia terdiam mendengar ceritaku tentang Nek Anis.
“Nenek Anis itu orang yang baik dan sederhana. Sesederhana itu pula jalan fikirannya. Dia fikir pahala kebaikannya akan berakhir kalau pohon itu sudah tidak ada lagi. Padahal kebaikan yang selalu dipesankannya pada orang-orang yang datang meminta jambu itu akan selalu mengalir padanya!”
Kepadaku, Bang Ahmad berjanji akan membicarakan hal tersebut dengan pengurus masjid.
“Kita bersalah melupakannya dalam rencana renovasi masjid kita. Kalau perlu, konsep taman di halaman masjid itu difikirkan kembali sehingga tidak perlu sampai harus menebang pohon jambu itu!” tukasnya.
Ada perasaan bahagia yang mekar di dalam hatiku mendengar kata-kata Bang Ahmad. Tidak sabar rasanya menyampaikan kabar gembira ini pada Nek Anis. Siang itu dengan dua rantang di tangan aku kembali ke rumahnya. Tapi tak seperti biasa, dua kali ucapan salamku hanya disamput sepi.
Kuucapkan salam ketiga. Masih tak ada berjawab. Tanganku terulur membuka daun pintu yang ternyata tak terkunci. Aku ingat Bang Ahmad mengajarkan untuk pulang jika setelah tiga kali mengucap salam tak ada jawaban. Tapi jantungku yang tiba-tiba berdegup membuat aku memutuskan untuk terus masuk ke dalam. Dan …
Masya Allah … Di depan pintu kamar yang terbuka aku melihatnya meringkuk di atas tempat tidur. Menggigil hebat sampai tempat tidur dari kayu tanpa kasur itu ikut bergoyang kuat.
Secepat kilat aku berlari ke luar mencari pertolongan. Beberapa orang yang berdiri di depan rumahnya segera berlari mendengar teriakanku. Dalam sekejap rumah kecil itu dipenuhi tetangga kiri-kanan. Seorang anggota Koramil yang ikut masuk ke dalam rumah langsung membopong tubuh yang menggigil itu. Dengan menggunakan mobil ia langsung dilarikan ke rumah sakit di kecamatan.
Kata Dokter pada Bang Ahmad yang menjenguk, ia menderita malaria yang sudah sangat kronis. Panas badannya tinggi yang mungkin sudah mengganggu syarafnya menyebabkan ia sering mengigau kata-kata yang tidak jelas.
“Sesekali rintihannya terdengar jelas, tapi kami tidak bisa mengerti. Entah pesan atau semacam itu!”
“Apa itu, Dok?”
“Daun …!”
Tanah Kelahiran, 02 Agustus 2009
(1) Kakek (Banjar)
(2) Anang; Panggilan Untuk Anak Laki-Laki (Banjar)
(3) Sapaan Untuk Orang Yang Lebih Tua (Banjar)
Friday, August 7, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment