Sunday, February 1, 2009

Nasib Pendidikan Kita

Sebenarnya sih mau ngambil judul "Nasib Pendidikan di Indonesia" tapi kok sepertinya luas amat dan belum ada data-data yang saya peroleh, baru yang ada di POntianak aja yang ada, itupun berdasarkan pengalaman teman-teman, moga-moga yang akan saya ceritakan hanya terjadi di bagian kecil sistem pendidikan kita, berikut cerita selanjutnya...

Bagian I.
Sebut saja teman saya itu bernama Bunga (nama samaran-pen, sok mirip kayak investigasi gituh, hehe. Bunga ini adalah mahasiswa magang atau biasa disebut PPL dari UNTAN Pontianak. Semasa PPL, oleh sekolah tempat Bunga PPL, sebagian besar dewan guru di situ memperlakukan Bunga dan teman-temannya sesama mahasiswa PPL dari perguruan tinggi lainnya, bukan sebagai Mahasiswa PPL, tetapi terkadang di suruh bikin air, cuci gelas dll yang merupakan pekerjaan OB (baca: Office Boy). Dan diakhir masa PPL, para mahasiswa PPL tersebut "diminta" membuat acara perpisahan berupa acara makan-makan dan pemberian kenang-kenangan ke pihak sekolah, yang tentu saja, uang yang dikeluarkan - walau patungan - tidak sedikit dan dikeluhkan oleh mahasiswa PPL.

Yang menjadi pertanyaan, apa selama proses PPL ini, yang seharusnya menjadi ajang praktik langsung bagi mahasiswa PPL yang nantinya akan menggantikan posisi guru yang telah ada, malah menjadi proses yang tidak mengenakkan. Belum lagi acara makan-makan yang biayanya ditanggung oleh mahasiswa PPL tersebut. Seharusnya pihak sekolah yang mengadakan, bukan mahasiswa PPL. Dan hal ini tidak hanya dialami Bunga dan teman-temannya di sekolah tersebut, saya juga mendapat cerita yang lain sebut saja Melati (nama samaran juga, hehe). Kalau Bunga dari S1, sedang Melati ini dari Prodi PGSD dari perguruan tinggi yang sama. Nasibnya hampir sama dengan Bunga, yaitu mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan dari Guru Pamong serta dewan guru yang lain, juga sama "diminta" (baca: diwajibkan) mengadakan acara makan-makan sebagai tanda perpisahan. Sungguh sangat ironis menurut saya, terkesan seperti "Balas Dendam" kepada mahasiswa PPL dan bukan tidak mungkin, ketika mahasiswa PPL ini sudah menjadi guru, bisa jadi akan melakukan hal yang sama pula.

Bagian II
Cerita ini bermula ketika diajak oleh bos "rapat" di tempat makan via sms teman saya, Enda, dengan sikgap saya dan Enda yang baru nyampe ditempat kerja segera ketempat yang dimaksud yang kebetulan tidak jauh dari tempat kerja saya.

Awalnya, yang diomongkan mengenai pekerjaan, namun akhirnya ngelantur ke hal lain dan kebetulan yang dibicarakan adalah masalah tugas belajar. Bos pun menceritakan tentang salah satu dosen yang ditugaskan belajar ke Jerman dari UNTAN. Namun setelah-sebut saja-Mr. X (karena lupa namanya, hehe)menyelesaikan studinya di Jerman, dengan gampangnya Mr. X ini berkata tidak akan mengajar di UNTAN lagi karena ada tawaran mengajar di Jerman dan akan mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan UNTAN.

Sungguh, darahku mendidih mendengarnya. Sebegitu gampangkan Mr. X ini lupa, dari mana dia bisa mendapat peluang belajar di luar negeri? Kalau saja tidak ada campur tangan pihak UNTAN alias murni usahanya sendiri, mungkin tidak menjadi persoalan, tapi dengan diambilnya kesempatan tugas belajar ini berarti dia sudah memupuskan harapan dosen lain yang masih berhati nurani dan masih memiliki moral untuk tetap mengabdikan diri di tempat dia ditugaskan.

Ah, tau ah, gelap!

Sungguh miris nasib pendidan kita sekarang ini. Bahkan, biaya pendidikan anak SD bisa menyamai biaya pendidikan anak SMA.


Saya masih berharap ada pendidikan yang benar-benar gratis!, karena banyak juga anak-anak usia sekolah yang cerdas, namun tidak beruntung dari segi biaya, beasiswapun jumlahnya sangat terbatas, sehingga anak-anak kurang beruntung tersebut hanya bisa gigit jari untuk bisa mengenyam pendidikan yang diidamkan.

Ada yang berminat untuk mendirikan sekolah gratis???!!!

Moga saja, hal ini hanya terjadi di sebagian kecil sistem pendidikan kita. Tidak banyak guru-guru pamong yang semaunya, tidak banyak yang seperti Mr. X. Aamin!

Wallahu'alam
Khatulistiwa, 01 Februari 2009


[+/-] Selengkapnya...

2 comments:

Anonymous said...

mmm, ya begitulah kondisinya, tapi semuanya gak seperti itu kok :)

saya rasa wajar saja itu dosen memilih bekerja di Jerman sana, ilmunya lebih dibutuhkan di sana, sementara di Indonesia penghargaan yang diberikan negara maaf "kurang" atau malah gak ada sama sekali.

bukan berarti mendukung, bagaimana kita gak berpikir berulang kali, seseorang Doktor tamatan luar negeri di Indonesia cman digaji setara dengan supir Busway, sedih sekali kan.

saya pun mungkin (mudah2an nggak) akan memilih hal yang sama dengan itu dosen. mungkin idealisme yang sekarang ini masih ada akan hilang, walaupun sebenarnya itu gak perlu disangkut pautkan dengan idealisme, karena kita bekerja secara professional kan. Mungkin juga anda akan melakukan hal yang sama jika memang ada kesempatan datang seperti yang dialami oleh dosen itu.

Bangfad said...

saye berminat untuk mendirikan SEKOLAH GRATIS, tapi saye tak punye modal buat dirikan BANGUNANNYE... hehee Ada investor yang mau bergabung.... silakan hubungin saya